Kamis, 16 April 2015

Life is too Short...

Pernah dengar kalimat seperti judul di ataskan?. Bagi sebagian orang mungkin hanya sekedar quote yang terbaca begitu saja tanpa makna. Tapi saya mengaminkan itu sebagai sesuatu yang niscaya. Hari yang saya jalani beberapa bulan terakhir membuktikan itu. Ya, bahwa hidup ini memang terlalu singkat. 

Kepergian ayah dan di susul ibu beberapa bulan lalu, sungguh membuat hidup saya berubah. Kepergiannya menyisakan cerita sedih dan sepi tentu saja. Karena boleh dibilang keluarga saya adalah keluarga kecil. Saya hanya punya 2 saudara, perempuan keduanya. Kehilangan satu saja dari kami sudah amat terasa. Ayah dan ibu saya pergi di usia yang tak terlalu tua. Ayah pergi saat baru saja berulang tahun ke 60. Sementara ibu saya pergi di jelang ulang tahunnya ke 63. Keduanya pergi masih dalam fisik yang tampak baik. Tidak renta apalagi pikun. Sakitpun dalam waktu yang singkat saja, walau memang langsung terlihat berat di rentang 3 bulan jelang kematian keduanya. Mungkin karena menyerang bagian otak sebagai pusat kehidupan. 

Kita memang baru akan mengerti makna kebersamaan saat kita rasakan sakitnya kehilangan. Baru belakangan akan menyadari betapa kehadiran sosok ayah dan ibu sangat berarti saat keduanya tak lagi di sisi. Segala yang hal indah bersama mereka akan begitu dirindukan. Berandai-andai kalau saja bisa memutar waktu untuk lebih memberi mereka kebahagiaan. Andai bisa rahasia langit dikuak, tentu saya akan persembahkan hanya yang terbaik saja dari yang bisa saya lakukan.  

Nyatanya takdir tak bisa ditawar. Kehilangan tetaplah akan menjadi kehilangan. Menghadirkan sejuta penyesalan belum memberi yang terbaik bagi keduanya. Klise ya. Tapi percayalah sedihnya tak terkatakan :(

Tapi begitupun Allah selalu tepat memilih waktu. Kepergian ayah dan ibu terjadi saat saya sudah memiliki keluarga kecil, membuat segala hal menjadi lebih ringan untuk saya jalani. Benarlah bahwa Allah sungguh Maha Mengatur. 

Hari itu rindu saya akan keduanya membumbung sampai terbawa dalam mimpi. Usai subuh, saya niatkan mengunjungi makam mereka. Letak makam keduanya lumayan jauh dari rumah saya. Di pekamanan umum pondok kelapa. Cukup dekat dengan makam almarhum artis kondang itu. Butuh 1 jam naik commuter line menuju ke sana. Bila sudah tiba waktunya jam sibuk, kereta akan sangat padat, pilihan naik mobil pribadi pun tak lebih baik karena akan butuh waktu berjam-jam melewati banyak titik kemacetan.

Karenanya saya selalu memilih waktu subuh hari menuju ke sana. Saat makam masih sangat sepi. Bahkan bocah-bocah yang biasanya menawarkan jasa kursi jongkok bagi pelayat makam pun mungkin masih lelap dalam tidurnya. Makam ayah dan ibu sengaja kami jadikan satu lubang. Jeda kematian mereka yang 10 tahun memungkinkan hal itu. Tak ada alasan lain selain kemudahan untuk berziarah.

semoga Allah mempertemukan kami lagi di surgaNya


Saya datang membawa rindu, untuk sekedar melihat dan berdiam sejenak mendoakan keduanya. Berharap Allah memberi tempat terbaik. Mencurahan ampunan atas segala khilaf juga melipatgandakan rahmat atas segala amalan mereka di dunia. Menghitungnya sebagai amal sholeh yang tak putus. Semua doa terbaik yang saya lantunkan dalam hati tak terasa menderaskan airmata. Terisak sendiri.

  Eropa, 2004, foto kebersamaan terakhir, krn 6 bulan kemudian ayah pergi 


Bagai menyusun puzzle kenangan, teringat saya akan potongan prilaku buruk saya pada ibu, semua yang menyusahkan dan membuat luka hatinya. Marah untuk hal sepele yang seharusnya bisa saya tahan.Egois mempertahankan pendapat yang saya anggap paling benar. Dan waktu berputar. Kini saya pun telah menjadi ibu. Hingga saya tahu betul sedihnya diacuhkan anak. Dilawan atas nasihat baik saya untuk mereka. Seperti melihat cermin diri. Pantulannya sama persis dengan apa yang saya perbuat dahulu. 

Menjadi anak, kemudian menjadi orang tua, dan bila umur panjang menjadi seorang nenek adalah siklus hidup yang niscaya kita lalui. Dari sendiri,di rahim ibu, kemudian bersama kedua orang tua dan melahirkan lagi generasi baru adalah sunnatullah. Bila berkaca dari usia kedua orang tua saya, jatah hidup saya mungkin tak lagi terlalu lama. Hmm...boleh jadi tak sampai 20 tahun lagi, atau mungkin kurang dari itu, wallau'alam. Yang pasti teramat singkat. 

Satu harapan besar tentu saya gantungkan pada anak-anak saya. Berharap mereka punya cinta yang sama besarnya sebagaimana cinta saya pada nenek dan kakeknya. Sudi meluangkan jenak waktu untuk sekedar mendoakan jasad saya yang terkubur kelak. Menyadari bahwa harta berharga hanyalah kesholehan diri. Harta yang tak hanya berguna bagi dirinya kelak, namun juga amat berarti bagi saya orang tuanya untuk mewujudkan cita-cita hidup tertinggi, yakni sampai  ke surgaNya. Sesederhana itu saja. Semoga langit mendengarnya.

Wallua'alam bisshawab