Setiap orang dalam hidupnya pasti pernah mengalami turbulensi. Keadaan guncang akan sebuah peristiwa yang pada muaranya menjadi sebentuk pelecut semangat yang bisa menjadi titik balik kehidupan. Begitulah hukum alam Tuhan. Dimana didalamnya tak melulu berisi cerita suka cita namun juga diwarnai duka lara. Tak terkecuali seperti yang terjadi pada kehidupan saya.
Dipertengahan usia pernikahan saya, saya hidup tentram dan bahagia bersama seorang suami yang baik dan sepasang anak yang manis, lucu dan pintar. Si kakak dan abang. Begitu saya memanggilnya. Saya merasa hidup saya begitu sempurna memiliki mereka. Rasanya lengkap sudah status saya sebagai seorang perempuan, menjadi ibu bagi sepasang anak.
Saya bayangkan, setelah saya membesarkan mereka, pastilah hidup saya akan bahagia. Terlebih saya menikah di usia 23 tahun. Usia yang cukup muda untuk rata-rata kalangan pergaulan saya saat itu. Dan saya melahirkan anak pertama persis setahun kemudian. Sungguh menyenangkan. Sampai saya membayangkan, kelak hubungan saya dan anak-anak akan seperti kakak dan adik. Karena saat mereka tumbuh besar, kami bisa bagai sebaya.
Namun, saat anak kedua saya berusia 3 tahun, suami saya berkeinginan untuk kami mempunyai anak lagi. Ya, dia ingin memiliki anak ketiga. Itu karena suami saya pecinta anak-anak dan ia tumbuh dalam keluarga besar yang terbiasa dengan banyak saudara. Sejujurnya saya cemas dan khawatir keluar dari zona nyaman saya sebagai ibu yang merasa cukup dengan dua anak. Terbayang kemudian hari-hari saya akan direpotkan lagi dengan kehadiran seorang bayi. Tentu butuh waktu menerima keputusan suami yang saya anggap krusial saat itu.
Akhirnya setelah suami saya meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, sayapun menyetujui keinginannya. Dengan berucap Bismillah saya lepas alat kontrasepsi, dan setahun kemudian, Alhamdulillah, lahirlah bayi ketiga kami, yang berjenis kelamin laki-laki. Bertambahlah status baru saya. Ibu 3 anak. Naluri ibu membuat saya excitedmenyambut kehadirannya. Luruh semua hal yang saya cemaskan saat saya melihat wajah lucunya. Ia lahir sehat dan sempurna.
Saat Bahagia dan Duka Datang Bersamaan
Sampai kemudian di usia sebulan, bayi saya divonis dokter terkena penyakit epilepsi parsial akibat kejang tremor yang menyerang kedua tangannya. Dokter memberi vonis berat bahwa tumbuh kembang bayi saya akan terlambat, bahkan bila kekambuhan kejang berulang bisa melumpuhkan raganya. Duniapun serasa runtuh seketika. Hal yang sungguh tak pernah terpikir oleh saya sebelumnya. Kebahagiaan itu sekejap saja berubah jadi petaka. Hati saya menjerit, menyangkal semua takdir Tuhan yang saya rasakan begitu tak adil saat itu.
Awal-awal vonis itu benar-benar memurukkan saya pada jurang keputusasaan. Sempat saya sesali segala keputusan saya dulu. Butuh waktu menerima semua itu. Namun, wajah innocent bayi saya, seperti menggedor nurani saya untuk bisa kembali tegak berdiri mengawal tumbuh kembangnya.
Perlahan saya bangkit. Saya datangi tempat terapi untuk membuat anak saya bisa bertumbuh mengejar ketertinggalannya. Saya dan suami bertekad mengupayakan apapun yang bisa membuat si bungsu hidup lebih baik. Alhasil kami tergembleng tak hanya secara moril namun juga materil. Meski kami sempat limbung, karena semua ini kami alami secara tak terduga. Siapa menyangka, kebahagiaan itu tercerabut sedemikian cepatnya.
Cerita belum usai sampai di sana. Di usia setahun lebih, vonis baru menghampiri bungsu saya. Karena gejala susulan dari brain damage akibat kejang yang menyerang, ia terpapar Autism Sindrom Disorder (ASD). Sejak itulah anak saya menyandang vonis sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak istmewa, demikian orang menyebutnya. Terapi demi terapi harus terus berlanjut secara berkesinambungan. Semua membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kesulitan finansialpun menjadi bagian dari jatuh bangun cerita perjalanan kami mengawalnya. Kami sadari kemudian satu kesalahan, bahwa hidup kami nyaris tanpa perencanaan, utamanya dalam masalah finansial. Membiarkan semua berjalan dan mengalir begitu saja. Padahal hidup tak selalu berjalan semulus harapan kita. Karenanya, perencanaan finansial bila tertimpa musibah tak terduga menjadi niscaya adanya.
Untuk diketahui, biaya terapi anak berkebutuhan khusus sangatlah mahal. Hal ini suka tidak suka memaksa kami mengatur secara ketat biaya kebutuhan hidup. Butuh tata ulang perencanaan finansial bagi ketiga anak kami. Agar kelangsungan pendidikan mereka bisa berkelanjutan dan kesehatan mereka bisa terjamin. Khusus bagi si bungsu, pos pengeluaran membengkak diluar kendali. Biaya terapinya hampir menyamai anak kuliahan. Benar-benar sesuatu yang tak pernah kami duga sebelumnya.
Kini, tak terasa 8 tahun sudah kami mengawal si bungsu. Perjuangan membesarkannya memang belum usai, karena hingga kini, bungsu saya belum juga bisa berbicara secara verbal, walau itu sekedar untuk mengucap namanya sendiri. Namun, ajaibnya, saya rasakan hidup saya kini menjadi lebih baik. Apa yang saya alami seperti menjadi titik balik (turning point) kehidupan saya untuk menjadi manusia yang lebih pandai memaknai syukur.
Selalu ada cara Tuhan mengajarkan kita. Memiliki si bungsu seperti memiliki sekolah kehidupan, tempat dimana kami mengasah kesabaran. Memiliki si bungsu juga membuat saya dan suami menjadi team yang solid. Menjadi orangtua yang lebih tangguh dari sebelumnya. Rangkaian puzzle kehidupan kami ini menumbuhkan kesadaran akan arti penting merencanakan masa depan bagi ketiga buah hati kami, terutama demi terwujudnya kemandirian si bungsu. Hingga detik ini, tak lelah saya rangkai asa itu. Dan saya sangat percaya, tak ada cerita yang tak berhikmah. Karena itulah saya berbagi. Semoga coretan kecil ini bisa menginspirasi Anda.
my happy family |