Mengapa saya  menulis judul demikian? Mari simak sepenggal episode  hidup saya  menjadi  ibu dari seorang anak dengan berjuta keistimewaan. Sebelum saya  memiliki seorang anak yang sangat spesial ini, saya abai dengan  kenyataan betapa menakjubkannya proses tumbuh kembang seorang anak. Saya  tak pernah merasa ada yang istimewa dalam proses anak bisa merangkak,  berjalan, berlari, berbicara. Saya berpikir itu adalah hal biasa yang  bisa dilakukan umumnya seorang anak manusia. Nothing special. Hal  alamiah. Anak saya bisa berjalan? bukankah anak lain juga begitu? bisa  berlari? yang lainpun demikian. Bisa bicara? ahh...teman-temannya pun  tak kalah cerewet mengoceh. Sesederhana itu saja pandangan saya dulu.
Dua anak  saya lahir sangat sempurna. Si abang sebutan anak sulung saya bahkan di  anugerahi wajah yang lucu dan menggemaskan. Hingga sejak kecil  pose-posenya menarik minat teman yang bekerja di avertising untuk  dijadikan model iklan. Si kakak, juga demikian, sehat, pintar,  selalu  juara dikelasnya, pandai menulis. Kemampuan mereka berdua berkembang dengan pesatnya. Kebetulan  lagi mereka anak-anak yang sangat penurut. Sehingga sepanjang ingatan  saya, sangat tak terasa membesarkan mereka. Tahu-tahu mereka sudah  remaja. Tahu-tahu mereka sudah pandai membaca. Tahu-tahu mereka sudah  pandai menghafal Al Qur'an. Tanpa perlu saya ajari dengan susah payah.  Begitulah Tuhan memberi banyak kelebihan pada abang dan kakak. 2 anak  saya itu. Alhamdulillah...Segala puji hanya bagi Sang pemilik.
Inilah mereka...
- abang semasa kecil
- abang saat ini 14 tahun
- kakak dimasa kecil
- kakak saat ini 10 tahun
Sampai  kemudian saat usia kakak 4 tahun, Saya diberi lagi seorang anak sebagai  amanah dariNya. Ia terlahir dengan rupa yang sama sempurna dengan abang  dan kakaknya. Montok, spontan menangis saat lahir layaknya bayi sehat.  Tak ada yang menyangka kemudian sederet vonis menghampirinya. Tak pernah  saya bermimpi diberi amanah yang luar biasa ini.
- inilah si bungsu, fisiknya terlihat montok dan segar
Anda pasti sering mendengar ucapan.."amit-amit jabang bayi". Ucapan  yang umum sering disebut orang yang sedang hamil sambil mengelus  perutnya, kala ia melihat dan mendengar hal-hal buruk di hadapannya,  seperti saat mereka melihat orang cacat melintas dihadapan mereka.  Berharap dengan berucap itu, ia akan dijauhi dari segala keburukan yang  akan menimpa calon bayinya kelak.  Mungkin ini semacam harapan  perlindungan.
Itulah  salah satu tanda betapa manusia adalah mahluk penyuka kesempurnaan. Tak  ingin diberi kekurangan oleh Yang Maha Kuasa. Demikian halnya dengan  saya. Meski tak pernah sekalipun saya ucapkan kata-kata itu. Tentu kalau  boleh memilih saya ingin di anugerahi anak-anak yang sehat walafiat.  Sehat fisiknya. Cerdas otaknya. Dan segala label kesempurnaan lainnya.
Tapi tak  ada yang mampu melawan takdir. Nyatanya  saya dititipiNya anak yang  menurut kacamata umum "tak sempurna". Di usia belia, bahkan belum genap 1  bulan, saat ia masih bayi merah, bungsu saya di vonis akan lumpuh tak  berdaya dikursi roda atau kalaupun berjalan butuh waktu lama dan usaha  ekstra keras melatihnya. Terang saya merasa gamang saat itu. Luar biasa  sedih. Berintrospeksi.  Gerangan apakah dosa saya hingga Tuhan  menimpakan ini pada saya. Denial. Menyangkal. Tak terima akan ujian yang  saya anggap sangat berat saat itu. Semua pertanyaan itulah yang  menggantung dalam benak saya. Menjadi indikasi tabiat manusia saya yang  emoh diberi kesulitan.
Perlu  waktu lama untuk saya merenung menerima kenyataan yang saya anggap pahit  saat itu. Mereka-reka apa kiranya hikmah Tuhan memilih saya. Seiring  berjalan waktu, saya disadarkan akan banyak hal, terutama pada cara saya  memandang rasa syukur. Sesuatu memang baru akan terasa nikmat ketika  Allah mencabut sedikit nikmat itu.
Siapa  mengira proses tumbuh kembang itu menjadi barang mahal bagi bungsu saya.  Tahap demi tahapnya menjadi begitu saya nanti. Bilakah dia tengkurap,  merangkak, duduk, dan berjalan, berbicara??  Semua begitu saya  tunggu-tunggu. Bak menunggu bisul yang akan pecah. Penantian panjang  yang kerap diiringi rasa nyeri.
Saya  sampai perlu membeli matras, sekedar mengajarinya berguling, membolak  balikkan badannya dari telentang, tengkurap. Untuk kemudian merangkak,  duduk dan berjalan. Sesuatu yang sepertinya mudah dilakukan bayi pada  umumnya. Itu berlangsung hampir setiap hari. Selain itu perlu pula  bantuan tenaga terapis untuk  merangsang semua gerak motoriknya. Praktis  waktu dan hari-hari saya habiskan bersamanya.
Bungsu  saya sangat pasif, meski secara fisik terlihat montok, gempal dan  menggemaskan. Di usia 6 bulan, saat anak lainnya sudah aktif berguling  ia hanya bisa tergeletak terlentang. Sangat jarang tangis yang keluar  dari mulutnya. Ia teramat anteng untuk ukuran seorang anak bayi. Sampai  tetangga pun tak pernah mendengar tangis bayi dirumah saya. Sesuatu yang  aneh tentunya.
- sangat interest bermain air
Saya  mengunjungi tempat terapi hampir setiap hari demi  membuatnya bisa  bertumbuh. Bersama terapisnya, saya latih terus motoriknya, agar tahapan  tumbuh kembang itu bisa dikejarnya. Alhasil, tak hanya fisiknya yang  tergembleng, mental dan kesabaran sayapun ikut terasah karenanya.
Alhamdulillah..segala  upaya saya membawa hasil, meski perlahan akhirnya ia benar-benar mampu  berjalan diatas dua kakinya sendiri. Di usia hampir 2,5 tahun. Tanpa  perlu bantuan kursi roda, seperti yang diprediksi dokter ketika ia baru  sebulan hadir di dunia.  Subhanallah...saat itu tersungkur saya dalam  tangis dan sujud syukur.
Karenanya,  syukuran kecilpun saya gelar. Memotong kambing dan membaginya pada anak  yatim. Mungkin jarang anda dengar ada orang potong kambing untuk   merayakan seorang anak bisa berjalan. Tapi ternyata bisa berjalan adalah  karunia sangat berharga bagi si kecil saya. Perlu perjuangan  mencapainya.
- inilah ia kini...mampu berjalan bergandeng tangan bersama abinya...
Kini,  berikutnya yang saya nanti adalah saat dia mampu berkata-kata,  berbicara. Harapan itu demikian menggunung,  hingga kerap terbawa dalam  mimpi saya. Sungguh saya sangat ingin mendengar ia bisa memanggil saya  ibu.
Itulah  mengapa kini saya begitu takjub setiap kali melihat seorang anak usia 2   tahun sudah pandai berceloteh. Dalam hati saya bertasbih,  Subhanallah...mengagumkan sekali. Boleh jadi anda mungkin berpikir saya  berlebihan. Tapi percayalah, perasaan itu datang kala saya kehilangan  nikmat Allah yang satu ini. Ya, ternyata proses berbicara itu tak mudah  bagi sebagian anak. Utamanya bagi anak berkebutuhan khusus. Jangankan  merangkai kata, mengucap sepatah saja perlu berjuang berbulan bahkan  bertahun lamanya untuk melatihnya. Sekedar gambaran, anak saya sudah  mengikuti terapi bicara sejak usia 1.5 tahun. Kini usianya hampir 6.5  tahun. Berarti 5 tahun sudah penantian saya. Namun belum sepatah katapun  mampu dia ucapkan. Hingga saat ini, kamipun hanya bicara dengan bahasa  tubuh. Perjuangan yang sungguh tak mudah. Dan Alhamdulillah, sampai  detik ini saya masih tegar berdiri mengawalnya, semoga jiwa dan raga  saya tak pernah lelah karenanya.
Semua  yang saya ceritakan di atas, baru sekelumit dari panjangnya jalan yang  harus saya tapaki untuk membuat bungsu saya mandiri mengejar  ketertinggalannya. Baru sekedar bicara kemampuan fisiknya. Belum   menyentuh prilakunya yang butuh pengawalan ekstra ketat  itu. Prilaku  yang kerap aneh dan sering tak mudah saya mengerti. Bisa dibayangkan.  Sampai disini saja, sudah  tak terbilang nikmat Tuhan yang luar biasa  itu. Sungguh pada dirinya,  saya temukan kebesaranNya.
Saya  percaya, sebenarnya mudah saja bagi Allah membuatnya bisa berbicara,  namun nampaknya Allah begitu sayang pada saya. UjianNya membuat saya  merasa terus dibelai oleh cintaNya. Menundukkan  kesombongan atas ego  saya. Mengajarkan saya begitu banyak hikmah.
Sesungguhnya  di atas langit masih ada langit. Pepatah ini  mengajarkan kita, bahwa  kita tak pernah malang sendiri. Boleh jadi diluar sana masih banyak  berjuta anak lain yang tak  seberuntung anak saya. Atau boleh jadi juga  anak yang anda miliki lebih  beruntung dari anak saya. Tengoklah selalu  kebawah, agar selalu ingat untuk bersyukur.
Akhirnya  kini...sepenuhnya saya bisa mengerti mengapa Tuhan mengamanahi saya  merawat malaikat kecil ini. Karena hadirnyalah saya bisa memaknai setiap  jengkal karuniaNya. Mengasah kesabaran saya yang selama ini terasa  tumpul. Membuat jiwa saya semakin kaya dan bijaksana.
He might not speak, but his feeling is so clear. Behind the disability, he is the real motivator...
Karenanya tetaplah bersyukur atas sekecil apapun nikmatNya...
Semoga coretan kecil  ini berhikmah bagi anda...
 


