Perjalanan pulang dari tempat trapi anakku menuju rumah kali ini terasa menyesakkan dada..didalam bis yg kutumpangi, semua rasa yg menghimpit dadaku, yang kutahan sejak tadi diklinik...seakan tumpah menjadi airmata yg nyaris tak bs kuhentikan. Aku tutup wajahku dengan kerudungku...mencoba menyembunyikan semua sedihku...aku larut dalam emosi dan kepasrahan. Bisa apa aku tanpamu ya Allah...Aku hanya mampu berusaha memberi yg terbaik baginya.. Selebihnya aku pasrah... biarlah tanganMu yg bekerja.
Sesungguhnya ini adalah ritual rutin yg tak terasa telah kujalani selama genap 6 tahun lamanya. Sejak dokter memvonis anakku terkena epilepsi parsial. Sebelumnya biar kujelaskan apa itu epilepsi parsial. Epilepsi parsial bukanlah epilepsi umum seperti ayan sebagaimana banyak orang mengenal penyakit ini. Epilepsi parsial adalah kejang tanpa demam yg menyerang hanya sebagian anggota tubuh, misalnya kedutan mata,kejang atau tremor pada tangan, kaki. Penyakit ini sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Setiap kali ada kekambuhan kejang, saat itu pula beberapa sel saraf otak dari sianak akan rusak.
Alkisah, ketika usia anakku belum genap sebulan dilahirkan, setiap menjelang tidur, kedua tangan anakku selalu bergetar seperti tremor. Tremor itu akan hilang dengan sendirinya ketika ia sudah terlelap. Mulanya aku anggap biasa, aku berpikir itu gerakan kaget seperti yg terjadi pada bayi pada umumnya. Tapi krn sering frekuensinya, segera ku konsultasikan ke dokter anak. Dari dokter anak aku dirujuk ke dokter spesialis saraf anak. Di sana dokter menyarankan untuk melakukan CT SCAN dan EEG, untuk memastikan apa yg terjadi pada otak anakku. Bagai disambar petir...ketika dokter mengatakan anakku terkena syndrom epilepsi diusianya yg belum genap sebulan.
Dokter mengatakan tumbuh kembang anakku akan terlambat dibanding anak normal lainnya. Bahkan kemungkinan mengalami kelumpuhan. Vonis yg sungguh menghantam mentalku sebagai orangtua pada saat itu. Membuat duniaku serasa runtuh. Karenanya anakku segera memerlukan penanganan trapi intensif agar bs mengejar tumbuh kembangnya. Sejak seumur itu pula anakku diwajibkan mengkonsumsi obat anti epilepsi selama 3 thn lamanya tanpa boleh sekalipun terputus, agar kejangnya tidak ada kekambuhan. Karena sekali saja selama masa pengobatan ini ada kekambuhan, dokter akan mereview obat yg dberikan, dan mengulang proses pengobatannya dr awal kembali. Sungguh...bukan hal mudah menerimanya. Harap2 cemas aku menjalaninya. Semoga pengobatan ini berhasil selama 3 tahun dan tak ada kekambuhan, sehingga anakku bs dinyatakan bebas obat sampai seumur hidupnya. Karena bila ada kekambuhan kejang yg terus menerus terjadi, selamanya ia akan tergantung dengan obat epilepsi seumur hidupnya.
Itu baru persoalan minum obat. Belum bicara soal tumbuh kembangnya. Karena trapi wajib berjalan beriring dengan obat yg dikonsumsi, untuk bs membuat kemampuan anakku lbh baik.
Hari2 menjalani trapipun kujalani diklinik tumbuh kembang anak. Ditempat trapi, banyak teman2 anakku dengan beragam dignosa, rata2 berkebutuhan khsusus, ada yg mengidap down syndrome, celebral palsy, autisme, berkesulitan belajar. Dari anak yg kasusnya sangat parah seperti anak yg lumpuh dan tak bs bangun sama sekali hingga harus dibopong orang tuanya untuk sampai ketempat trapi, sampai yg kasusnya autis ringan ada disana. Sampai disini aku aku kembali mengucap syukur, karena kondisi anakku masih lebih baik dari sebagian teman trapinya yg kurang beruntung itu.
Akupun mulai akrab dengan dunia mereka, anak2 spesial. Empatiku tumbuh luar biasa dlm lubuk hati melihat keberadaan mereka. Disanalah aku belajar dan mengenal berbagai macam kasus2 anak berkebutuhan khusus yg sebelumnya sama sekali tak kuketahui.
Singkat cerita dlm perjalanan proses trapi yg panjang, tepat diusia kurang lebih 1.5thn, aku menemukan keanehan dlm perilaku anakku. Dia sangat tertarik dengan benda2 berputar, seperti kipas angin, segala bentuk roda. Dia sering melakukan gerakan aneh berulang2, bs hampir setengah jam bertepuk tangan tanpa henti, yg sepertinya sgt sulit dia kendalikan, hingga memerah kedua tangannya, dia tidak menoleh ketika kupanggil namanya padahal ia tidak tuli, tidak mau melakukan kontak mata. Persis seperti ciri2 anak autis yg ada pada sebagian besar teman2 ditempat trapinya. Akhirnya aku bawa anakku ke dokter spesialis autisme. Ternyata benarlah dugaanku. Anakku pun positif menyandang autis. Dari literatur yg kubaca, ternyata sebagian besar efek susulan epilepsi adalah autisme. Ini karena serangan epilepsi merusak sel saraf otak hingga banyak penderita epilepsi adalah juga anak penyandang autis.
Ya Allah ya Robb...aku kembali bertasbih. Inilah jalan panjangmu untukku. Aku meyakini tak ada yg salah dengan setiap takdirMu. Kalaupun berat aku menerimanya, itu adalah bagian dari kelemahanku sebagai manusia yg lebih menyukai kelapangan hidup daripada kesempitan. Pasti semua ini berhikmah untukku. Hanya aku belum bs melihat apa yang menjadi rahasiaMu.
Seperti yg telah kuceritakan diawal.. trapi kali ini sangat menyesakkan bagiku. Sudah 3 minggu ini setiap menjalani trapi ke klinik, anakku seperti tidak nyaman. Dari sepanjang perjalanan pergi keklinik, ia terus mencubit tanganku, merengek. Itu ungkapan kegelisahan dan ketidaknyamanannya. Ternyata benar sampai ditempat trapi ia mogok untuk menjalani trapi. Menangis, mengamuk dan berteriak. Waktu selama satu sesi trapi sepanjang 1 jam habis begitu saja, tanpa ada sesuatu yg bs diajarkan padanya. Meski begitu, dr pihak klinik aku tetap diwajibkan membayar biaya trapi, apapun dan bagaimanapun kondisi anakku. Menyesakkan memang, karena biaya yg kukeluarkan tentu bukan biaya yg sedikit. Karena secara materi hidup kami tidaklah terlalu berlebihan. meski tidak pula kekurangan.
Bisa dibayangkan dalam keadaan trapi yang tenang dan nyaman saja, kemajuan yg bs dicapai anakku, sangatlah perlahan, apalagi bila sudah mogok dan mengamuk seperti ini. Keadaan inipun kadang berlarut2 dan berlanjut ditrapi2 berikutnya. Yang membuat perasaanku tak menentu dan serba salah. Sering bila keadaanya seperti ini, aku meliburkan trapinya hingga berbulan lamanya, menunggu emosi dan moodnya kembali stabil. Dan meliburkannya seperti ini juga bukan hal sepele bagi anakku. Karena bila trapi libur terlalu lama, ini akan mementahkan kembali semua hal yg sudah dikuasainya. Meski itu hanya sekedar mengenal 2 warna dasar saja. Itu semua karena keterbatasan dan kelemahan pemahamannya. Bagi guru trapisnya, ini menjadi pekerjaan ekstra lagi. Karena seperti memulai proses belajar dari awal kembali.
Memang banyak org beranggapan anak2 penyandang autis kerap kali jauh lbh cerdas dibanding anak normal lainnya. Tapi ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Hanya sedikit saja anak2 autis yg mempunyai otak superior, selebihnya unferior dibawah standar. Dan itu masih dtambah dengan rentang sydrom yg diderita, dari mulai ringan sampai berat.
Perkembangan trapi anakku boleh dikatakan berjalan sangat lambat, dibanding banyak teman trapinya. Salah satu yg menghambat adalah emosinya yg tidak stabil ini. Sekedar gambaran, aku sdh memasukkannya ke trapi bicara dr sejak usianya 1.5thn. Bukan waktu yg terlambat. Karena ia sdh terdeteksi autis sejak dini. Aku berharap dengan kuikutkan trapi bicara lbh awal ia bisa mengejar ketertinggalannya. Mengejar usia sekolahnya. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, hingga usianya genap 6 tahun, sepatah katapun belum mampu dia ucapkan.
Mendapati kenyatan ini, perlahan semua target dan harapan masuk sekolah sesuai usianyapun pelan2 kuturunkan. Aku tidak lagi muluk2 dalam berharap. Bisa melihatnya tumbuh mandiri saja, itu sudah cukup buatku. Bisa kekamar mandi sendiri, mengurus keperluannya sendiri. Bisa berbicara walaupun hanya sepatah 2 patah kata, untuk menyampaikan apa yg menjadi keinginannya, yg seringkali sulit kumengerti. Itulah sekarang yg menjadi targetku.
Betapa tidak, satu persatu teman2 trapinya keluar meninggalkan klinik karena sdh bs bersekolah disekolah reguler, ada pula yg bersekolah disekolah khsus anak2 berkebutuhan khusus. kemampuan mereka berkembang pesat setelah 1-2 tahun mereka menjalani trapi. Hingga boleh dibilang, anakku adalah pasien terlama diklinik tersebut. Karena ketika masuk dulu, klinik itu adalah klinik yg baru beroperasi. Pasiennya masih sangat sedikit. Dan anakku satu diantaranya. Irikah aku pada mereka? Sejujurnya boleh jadi begitu. Tapi sekali lagi kukatakan. Inilah sisi manusiaku. Yang lebih menyukai kesempurnaan dalam hidup. Selalu ku yakini, bahkan berulang dalam hati, aku tidak boleh menyerah, selalu ada asa ditengah keterpurukan. Masing2 manusia menjalani takdirNya. Inilah yg terbaik yg sudah Allah beri untukku.
Benarlah ternyata...tak ada tepi bagi sebuah kesabaran. Ujian dan cobaan hidup akan terus mengikuti selama kita masih bernafas. Selama hayat dikandung badan. Ia hadir dalam dimensi yang berbeda2 dalam setiap hidup kita. Dan keikhlasan, kelapangan serta kesabaran kita menerimanya, menjadi indikasi takaran cinta kita padaNya. Begitupun, tetap Allah memberinya sesuai dengan kemampuan kita menerimanya. Tak mungkin melebihi. Karena itulah kalam dan janjiNya. Laa yu kallifullahu nafsan illa wus 'ahaa...
Karenanya bersabarlah wahai anakku...Ummi disini akan tetap menemanimu sampai Allah memisahkan kita...Pada apa yg telah kita lewati selama ini...kita rasakan sepenuhnya cinta dan sayang Allah....
Mungkin memang belum tiba waktumu nak...
Pasar Minggu, 18 maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar