Mengapa saya menulis judul demikian? Mari simak sepenggal episode hidup saya menjadi ibu dari seorang anak dengan berjuta keistimewaan. Sebelum saya memiliki seorang anak yang sangat spesial ini, saya abai dengan kenyataan betapa menakjubkannya proses tumbuh kembang seorang anak. Saya tak pernah merasa ada yang istimewa dalam proses anak bisa merangkak, berjalan, berlari, berbicara. Saya berpikir itu adalah hal biasa yang bisa dilakukan umumnya seorang anak manusia. Nothing special. Hal alamiah. Anak saya bisa berjalan? bukankah anak lain juga begitu? bisa berlari? yang lainpun demikian. Bisa bicara? ahh...teman-temannya pun tak kalah cerewet mengoceh. Sesederhana itu saja pandangan saya dulu.
Dua anak saya lahir sangat sempurna. Si abang sebutan anak sulung saya bahkan di anugerahi wajah yang lucu dan menggemaskan. Hingga sejak kecil pose-posenya menarik minat teman yang bekerja di avertising untuk dijadikan model iklan. Si kakak, juga demikian, sehat, pintar, selalu juara dikelasnya, pandai menulis. Kemampuan mereka berdua berkembang dengan pesatnya. Kebetulan lagi mereka anak-anak yang sangat penurut. Sehingga sepanjang ingatan saya, sangat tak terasa membesarkan mereka. Tahu-tahu mereka sudah remaja. Tahu-tahu mereka sudah pandai membaca. Tahu-tahu mereka sudah pandai menghafal Al Qur'an. Tanpa perlu saya ajari dengan susah payah. Begitulah Tuhan memberi banyak kelebihan pada abang dan kakak. 2 anak saya itu. Alhamdulillah...Segala puji hanya bagi Sang pemilik.
Inilah mereka...
Sampai kemudian saat usia kakak 4 tahun, Saya diberi lagi seorang anak sebagai amanah dariNya. Ia terlahir dengan rupa yang sama sempurna dengan abang dan kakaknya. Montok, spontan menangis saat lahir layaknya bayi sehat. Tak ada yang menyangka kemudian sederet vonis menghampirinya. Tak pernah saya bermimpi diberi amanah yang luar biasa ini.
Anda pasti sering mendengar ucapan.."amit-amit jabang bayi". Ucapan yang umum sering disebut orang yang sedang hamil sambil mengelus perutnya, kala ia melihat dan mendengar hal-hal buruk di hadapannya, seperti saat mereka melihat orang cacat melintas dihadapan mereka. Berharap dengan berucap itu, ia akan dijauhi dari segala keburukan yang akan menimpa calon bayinya kelak. Mungkin ini semacam harapan perlindungan.
Itulah salah satu tanda betapa manusia adalah mahluk penyuka kesempurnaan. Tak ingin diberi kekurangan oleh Yang Maha Kuasa. Demikian halnya dengan saya. Meski tak pernah sekalipun saya ucapkan kata-kata itu. Tentu kalau boleh memilih saya ingin di anugerahi anak-anak yang sehat walafiat. Sehat fisiknya. Cerdas otaknya. Dan segala label kesempurnaan lainnya.
Tapi tak ada yang mampu melawan takdir. Nyatanya saya dititipiNya anak yang menurut kacamata umum "tak sempurna". Di usia belia, bahkan belum genap 1 bulan, saat ia masih bayi merah, bungsu saya di vonis akan lumpuh tak berdaya dikursi roda atau kalaupun berjalan butuh waktu lama dan usaha ekstra keras melatihnya. Terang saya merasa gamang saat itu. Luar biasa sedih. Berintrospeksi. Gerangan apakah dosa saya hingga Tuhan menimpakan ini pada saya. Denial. Menyangkal. Tak terima akan ujian yang saya anggap sangat berat saat itu. Semua pertanyaan itulah yang menggantung dalam benak saya. Menjadi indikasi tabiat manusia saya yang emoh diberi kesulitan.
Perlu waktu lama untuk saya merenung menerima kenyataan yang saya anggap pahit saat itu. Mereka-reka apa kiranya hikmah Tuhan memilih saya. Seiring berjalan waktu, saya disadarkan akan banyak hal, terutama pada cara saya memandang rasa syukur. Sesuatu memang baru akan terasa nikmat ketika Allah mencabut sedikit nikmat itu.
Siapa mengira proses tumbuh kembang itu menjadi barang mahal bagi bungsu saya. Tahap demi tahapnya menjadi begitu saya nanti. Bilakah dia tengkurap, merangkak, duduk, dan berjalan, berbicara?? Semua begitu saya tunggu-tunggu. Bak menunggu bisul yang akan pecah. Penantian panjang yang kerap diiringi rasa nyeri.
Saya sampai perlu membeli matras, sekedar mengajarinya berguling, membolak balikkan badannya dari telentang, tengkurap. Untuk kemudian merangkak, duduk dan berjalan. Sesuatu yang sepertinya mudah dilakukan bayi pada umumnya. Itu berlangsung hampir setiap hari. Selain itu perlu pula bantuan tenaga terapis untuk merangsang semua gerak motoriknya. Praktis waktu dan hari-hari saya habiskan bersamanya.
Bungsu saya sangat pasif, meski secara fisik terlihat montok, gempal dan menggemaskan. Di usia 6 bulan, saat anak lainnya sudah aktif berguling ia hanya bisa tergeletak terlentang. Sangat jarang tangis yang keluar dari mulutnya. Ia teramat anteng untuk ukuran seorang anak bayi. Sampai tetangga pun tak pernah mendengar tangis bayi dirumah saya. Sesuatu yang aneh tentunya.
Saya mengunjungi tempat terapi hampir setiap hari demi membuatnya bisa bertumbuh. Bersama terapisnya, saya latih terus motoriknya, agar tahapan tumbuh kembang itu bisa dikejarnya. Alhasil, tak hanya fisiknya yang tergembleng, mental dan kesabaran sayapun ikut terasah karenanya.
Alhamdulillah..segala upaya saya membawa hasil, meski perlahan akhirnya ia benar-benar mampu berjalan diatas dua kakinya sendiri. Di usia hampir 2,5 tahun. Tanpa perlu bantuan kursi roda, seperti yang diprediksi dokter ketika ia baru sebulan hadir di dunia. Subhanallah...saat itu tersungkur saya dalam tangis dan sujud syukur.
Karenanya, syukuran kecilpun saya gelar. Memotong kambing dan membaginya pada anak yatim. Mungkin jarang anda dengar ada orang potong kambing untuk merayakan seorang anak bisa berjalan. Tapi ternyata bisa berjalan adalah karunia sangat berharga bagi si kecil saya. Perlu perjuangan mencapainya.
Kini, berikutnya yang saya nanti adalah saat dia mampu berkata-kata, berbicara. Harapan itu demikian menggunung, hingga kerap terbawa dalam mimpi saya. Sungguh saya sangat ingin mendengar ia bisa memanggil saya ibu.
Itulah mengapa kini saya begitu takjub setiap kali melihat seorang anak usia 2 tahun sudah pandai berceloteh. Dalam hati saya bertasbih, Subhanallah...mengagumkan sekali. Boleh jadi anda mungkin berpikir saya berlebihan. Tapi percayalah, perasaan itu datang kala saya kehilangan nikmat Allah yang satu ini. Ya, ternyata proses berbicara itu tak mudah bagi sebagian anak. Utamanya bagi anak berkebutuhan khusus. Jangankan merangkai kata, mengucap sepatah saja perlu berjuang berbulan bahkan bertahun lamanya untuk melatihnya. Sekedar gambaran, anak saya sudah mengikuti terapi bicara sejak usia 1.5 tahun. Kini usianya hampir 6.5 tahun. Berarti 5 tahun sudah penantian saya. Namun belum sepatah katapun mampu dia ucapkan. Hingga saat ini, kamipun hanya bicara dengan bahasa tubuh. Perjuangan yang sungguh tak mudah. Dan Alhamdulillah, sampai detik ini saya masih tegar berdiri mengawalnya, semoga jiwa dan raga saya tak pernah lelah karenanya.
Semua yang saya ceritakan di atas, baru sekelumit dari panjangnya jalan yang harus saya tapaki untuk membuat bungsu saya mandiri mengejar ketertinggalannya. Baru sekedar bicara kemampuan fisiknya. Belum menyentuh prilakunya yang butuh pengawalan ekstra ketat itu. Prilaku yang kerap aneh dan sering tak mudah saya mengerti. Bisa dibayangkan. Sampai disini saja, sudah tak terbilang nikmat Tuhan yang luar biasa itu. Sungguh pada dirinya, saya temukan kebesaranNya.
Saya percaya, sebenarnya mudah saja bagi Allah membuatnya bisa berbicara, namun nampaknya Allah begitu sayang pada saya. UjianNya membuat saya merasa terus dibelai oleh cintaNya. Menundukkan kesombongan atas ego saya. Mengajarkan saya begitu banyak hikmah.
Sesungguhnya di atas langit masih ada langit. Pepatah ini mengajarkan kita, bahwa kita tak pernah malang sendiri. Boleh jadi diluar sana masih banyak berjuta anak lain yang tak seberuntung anak saya. Atau boleh jadi juga anak yang anda miliki lebih beruntung dari anak saya. Tengoklah selalu kebawah, agar selalu ingat untuk bersyukur.
Akhirnya kini...sepenuhnya saya bisa mengerti mengapa Tuhan mengamanahi saya merawat malaikat kecil ini. Karena hadirnyalah saya bisa memaknai setiap jengkal karuniaNya. Mengasah kesabaran saya yang selama ini terasa tumpul. Membuat jiwa saya semakin kaya dan bijaksana.
He might not speak, but his feeling is so clear. Behind the disability, he is the real motivator...
Karenanya tetaplah bersyukur atas sekecil apapun nikmatNya...
Semoga coretan kecil ini berhikmah bagi anda...
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini..... Saya hanya mampu bertasbih setelah membaca tulisan ini karena terpesona dengan kekuatan, ketabahan dan kebijaksanaan mbak Aulia ..... Insha Allah, saya semakin termotivasi untuk tidak mengeluh jika mulai kewalahan dengan tingkah anak-anak saya di rumah.....U're a wonderful mother, mbak! :)
BalasHapusDuh...baru baca komenmu mbak Lintang...makasi yaa mbak sudah singgah :)
BalasHapus